Jakarta – Di tengah hiruk-pikuk pergantian pemerintahan dan rutinitas politik yang kian kehilangan makna, muncul satu sosok yang diam-diam mengubah arah angin di balik meja kekuasaan: Purbaya Yudhi Sadewa. Langkah-langkahnya yang tenang namun tegas, kini menjadi bahan pembicaraan di berbagai lingkaran pemerintahan. Ia tidak datang dengan teriakan, tapi dengan gebrakan yang mengguncang fondasi kebiasaan lama — kebiasaan yang selama bertahun-tahun menjerat lembaga-lembaga negara dalam jaring kepentingan dan korupsi sistemik.
Purbaya, yang kini memimpin satu lembaga strategis dalam bidang ekonomi dan tata kelola keuangan negara, mulai melakukan apa yang jarang dilakukan oleh pejabat-pejabat sebelumnya: membuka borok internal lembaganya sendiri. Ia tidak menunggu desakan publik, tidak pula menunggu sinyal dari atasan politik. Langkah ini mengejutkan banyak pihak, bahkan di kalangan birokrat senior yang selama ini terbiasa bersembunyi di balik tumpukan regulasi dan laporan palsu.
Bagi banyak pengamat, tindakan Purbaya adalah simbol bahwa reformasi sesungguhnya masih mungkin terjadi — bukan dari tekanan luar, tapi dari keberanian moral di dalam sistem itu sendiri. Namun keberanian seperti ini tentu tidak datang tanpa risiko. Ia sedang berhadapan dengan “tembok-tembok tak terlihat” yang dibangun oleh generasi demi generasi pejabat yang menjadikan lembaga negara bukan sebagai alat pelayanan publik, melainkan ladang keuntungan pribadi.
Mahfud MD: Mengungkap Modus dan Menyerang Akar Kejahatan
Dalam sebuah pernyataannya, Mahfud MD, mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, menilai langkah Purbaya sebagai “angin segar yang langka di tengah budaya diam dan permisif.” Mahfud menegaskan bahwa langkah semacam ini bukan sekadar soal administratif atau efisiensi, tapi menyentuh hal yang lebih mendasar: modus kejahatan yang sudah menjadi kebiasaan di tubuh lembaga-lembaga negara.
“Banyak pejabat terlihat alim dan patuh aturan, tapi sesungguhnya beroperasi di balik sistem yang penuh tipu daya,” ujar Mahfud dalam satu wawancara. “Pola seperti ini terus berulang: pengawasan internal lemah, laporan keuangan dimanipulasi, proyek-proyek dikomersialisasi. Yang rugi bukan hanya uang negara, tapi juga moral bangsa.”
Mahfud menyebut langkah Purbaya sebagai “pukulan simbolik terhadap sistem yang selama ini melindungi para pelaku korupsi.” Ia menambahkan, reformasi sejati tidak akan pernah lahir tanpa keberanian individu di dalam sistem untuk melawan kebusukan dari dalam. “Itu pesan saya untuk semua pejabat baru: jangan jadi bagian dari lingkaran itu,” katanya.
Sistem yang Mencetak Pelaku, Bukan Pelayan
Masalah terbesar dalam birokrasi Indonesia, sebagaimana terlihat dari berbagai kasus korupsi, bukanlah kurangnya aturan, melainkan berlimpahnya celah dan kompromi. Sistem audit yang seharusnya mengawasi justru sering menjadi bagian dari permainan. Laporan disusun bukan untuk mengungkap kebenaran, melainkan untuk melindungi posisi. Semua berjalan seolah baik-baik saja, sementara di dalamnya mengalir uang rakyat yang diselewengkan lewat proyek-proyek “tambahan”.
Selama ini, kata sejumlah sumber di lingkungan lembaga keuangan negara, praktik “tambahan proyek” sudah seperti darah yang mengalir di nadi birokrasi. Setiap proyek besar memiliki ‘harga tak resmi’ yang harus disetujui oleh pejabat tertentu agar bisa berjalan. Dana tersebut kemudian mengalir ke berbagai kantong — dari tingkat bawah hingga pucuk pimpinan. Inilah pola yang coba diputus oleh langkah-langkah reformis seperti yang dilakukan Purbaya.
Ia menolak skema “bagi hasil tak resmi” dan menertibkan jalur distribusi anggaran yang selama ini dijadikan sarana mark-up. Beberapa rekan kerjanya bahkan menyebutnya sebagai “orang yang tak bisa diajak kompromi.” Tapi justru di situlah titik baliknya: untuk pertama kalinya, integritas menjadi ancaman bagi sistem yang sudah terlalu nyaman dalam korupsi.
Reformasi yang Tidak Populer
Purbaya mungkin tidak banyak bicara di depan media, tapi langkah-langkahnya sudah cukup mengguncang. Ia menolak berbagai bentuk lobi politik yang berusaha memengaruhi keputusan strategis lembaganya. Ia juga mulai menata ulang proyek-proyek yang selama ini “disandera” oleh kelompok tertentu dengan dalih kepentingan nasional.
Namun dalam setiap reformasi, musuh terbesar bukanlah orang jahat, melainkan orang baik yang memilih diam. Banyak pejabat yang mengetahui kebusukan di sekitarnya, tapi tidak berani bersuara karena takut kehilangan posisi. Di sinilah langkah seperti yang dilakukan Purbaya menjadi penting — bukan karena ia sempurna, melainkan karena ia mematahkan rantai diam yang selama ini melindungi kejahatan.
Mahfud MD menegaskan hal yang sama dalam refleksinya: “Korupsi di Indonesia bukan lagi tindakan individu, tapi sudah menjadi sistem. Maka melawannya harus dengan moral, bukan sekadar regulasi. Regulasi bisa dibeli, tapi moral tidak.”
Pembersihan dari Dalam
Langkah-langkah reformis yang dilakukan oleh Purbaya kini menjadi contoh bagi banyak lembaga lain. Beberapa pejabat muda di instansi berbeda mulai mengikuti jejaknya: menolak gratifikasi, membenahi sistem laporan, bahkan membongkar praktik lama yang sebelumnya dianggap “normal.” Namun, di balik semua itu, ancaman juga meningkat. Pihak-pihak yang selama ini menikmati kenyamanan sistem lama mulai melawan dengan cara halus — menghambat kebijakan, menebar isu, dan menekan loyalis reformasi.
Fenomena ini memperlihatkan satu hal penting: korupsi bukan hanya soal pencurian uang, tapi juga tentang kekuasaan, kendali, dan ketakutan. Sistem lama tidak ingin runtuh karena di dalamnya banyak orang bergantung hidup — bukan karena miskin, tapi karena terbiasa hidup dari uang kotor.
Bagi Purbaya, jalan ini adalah ujian moral. Ia sedang menguji seberapa jauh negara ini masih punya keberanian untuk berubah dari dalam. Dalam berbagai rapat internal, ia menegaskan bahwa “kinerja lembaga tidak diukur dari berapa besar proyek yang dijalankan, tapi dari seberapa bersih niat dan manfaatnya bagi rakyat.”
Harapan di Tengah Kegelapan
Langkah seperti ini tentu tidak bisa dikerjakan sendiri. Perlu keberanian kolektif dari generasi baru birokrat dan pejabat publik untuk menolak budaya suap dan kompromi. Jika setiap lembaga memiliki satu Purbaya — sosok yang berani berkata tidak — maka bayangan masa depan pemerintahan Indonesia akan berbeda.
Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa korupsi masih menjadi bahasa kekuasaan paling dominan. Selama pucuk pimpinan lembaga masih mencari “tambahan” dari proyek, selama laporan masih bisa dimanipulasi untuk kepentingan politik, maka reformasi hanya akan menjadi slogan.
Di titik inilah, suara seperti Mahfud MD menjadi penting. Ia bukan hanya mengingatkan, tapi juga menegaskan bahwa korupsi adalah dosa sosial — bukan sekadar pelanggaran hukum. “Negara bisa miskin bukan karena tak punya sumber daya, tapi karena para pengelolanya rakus,” ujarnya dengan nada getir.
Refleksi: Antara Moral dan Kekuasaan
Gebrakan Purbaya mungkin tidak spektakuler di mata publik, tapi bagi mereka yang memahami anatomi kekuasaan, langkah itu adalah bom moral. Ia menunjukkan bahwa di tengah budaya transaksional, masih ada ruang bagi idealisme. Di tengah politik yang sering dipenuhi kepura-puraan, masih ada pejabat yang memegang nurani.
Pertanyaan yang tersisa kini adalah: apakah sistem akan menghancurkan orang seperti Purbaya, atau justru sebaliknya — apakah orang seperti Purbaya bisa menghancurkan sistem lama itu?
Jawaban dari pertanyaan itu akan menentukan wajah masa depan birokrasi Indonesia. Jika yang jujur terus disingkirkan, maka negeri ini akan kembali jatuh dalam lingkaran setan: reformasi tanpa perubahan. Tapi jika keberanian moral seperti ini didukung oleh publik dan pemimpin nasional, maka sejarah akan mencatat bahwa di masa gelap pun, pernah ada segelintir orang yang memilih melawan arus kekuasaan demi kebenaran.























