Jakarta – Pernyataan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia yang heran melihat masyarakat lebih memilih mengisi bahan bakar di SPBU swasta ketimbang di Pertamina, justru membuka realitas yang lebih dalam: ada krisis kepercayaan terhadap pengelolaan energi nasional.
Kekecewaan publik terhadap kosongnya BBM di SPBU swasta bukan semata urusan distribusi, melainkan cermin dari persoalan struktural dalam tata kelola energi Indonesia.
1. Konsumen Tidak Hanya Membeli Bensin, Tapi Kepercayaan
Bagi masyarakat, pengalaman membeli BBM bukan sekadar mengisi tangki.
Konsumen membeli rasa percaya terhadap mutu dan kejujuran produk.
Isu pengoplosan BBM beberapa waktu lalu membuat kepercayaan publik terhadap Pertamina sempat goyah. Di sisi lain, SPBU swasta seperti Shell dan BP menghadirkan citra modern, pelayanan cepat, dan kualitas bahan bakar yang dianggap lebih konsisten.
Perpindahan konsumen ke SPBU swasta menunjukkan bahwa masyarakat bukan menolak produk dalam negeri, tetapi menolak rasa tidak pasti.
Mereka ingin jaminan mutu, transparansi, dan pelayanan setara standar global.
2. Kebijakan Satu Pintu: Regulasi yang Justru Menutup Pilihan
Kebijakan pemerintah yang mewajibkan SPBU swasta membeli base fuel melalui Pertamina dimaksudkan untuk memperkuat kontrol negara terhadap impor energi. Namun di lapangan, kebijakan ini justru berbalik arah.
SPBU swasta menolak base fuel yang disediakan Pertamina karena tidak memenuhi standar kualitas yang mereka gunakan secara internasional. Akibatnya, mereka memilih berhenti menjual BBM sementara daripada menurunkan kualitas produk.
Kondisi ini memperlihatkan ironi: pemerintah ingin memonopoli pintu impor, tetapi belum siap menyediakan bahan bakar yang memenuhi standar dunia.
Dampaknya jelas — stok kosong, konsumen kehilangan pilihan, dan reputasi pemerintah kembali dipertanyakan.
3. Antara Nasionalisme Energi dan Kualitas Pasar Bebas
Pernyataan Bahlil sesungguhnya mencerminkan dilema klasik antara nasionalisme ekonomi dan efisiensi pasar bebas.
Dari sisi pemerintah, wajar jika ingin memperkuat peran Pertamina sebagai simbol kedaulatan energi. Namun di sisi konsumen, nasionalisme tidak bisa dijadikan alasan untuk mengorbankan kualitas.
Rakyat Indonesia tidak menolak BUMN, tapi mereka menolak jika pelayanan publik dipaksa tunduk pada monopoli yang menurunkan mutu.
Mereka ingin negara hadir, tapi dengan cara yang profesional, bukan sekadar protektif.
4. Reformasi Mutu dan Transparansi sebagai Jalan Tengah
Krisis ini seharusnya menjadi momentum pembenahan menyeluruh.
Pemerintah dan Pertamina perlu mengambil langkah konkret:
Menjamin konsistensi mutu BBM di seluruh wilayah Indonesia,
Membuka audit publik terhadap proses distribusi dan kualitas bahan bakar,
Menyesuaikan standar base fuel agar bisa diterima SPBU swasta,
Membangun kolaborasi, bukan sekadar kontrol, dalam tata kelola energi nasional.
Dengan cara itu, pemerintah tidak hanya mempertahankan dominasi Pertamina, tetapi juga mengembalikan kepercayaan publik terhadap negara sebagai pengelola energi yang adil dan berkualitas.
Kesimpulan
Pernyataan Bahlil bukan sekadar keheranan, melainkan peringatan.
Jika konsumen lebih percaya pada SPBU swasta, itu artinya ada pekerjaan rumah besar yang belum diselesaikan oleh pemerintah dan Pertamina: membangun kembali kredibilitas dan integritas sektor energi nasional.
Selama kepercayaan belum dipulihkan, masyarakat akan tetap memilih kualitas — tak peduli siapa yang menjualnya.















2. Kebijakan Satu Pintu: Regulasi yang Justru Menutup Pilihan





